Hari Buruh & Miskonsepsi Kita
Pada tanggal 1 Mei tahun 1886, ratusan ribu buruh di Amerika Serikat melakukan protes dengan cara mogok kerja di berbagai kota selama 4 hari. Protes tersebut bertujuan untuk mengubah porsi jam kerja dari 18 jam sehari menjadi 8 jam sehari. Pada tanggal 4 Mei para buruh melaksanakan pawai besar. Namun tragisnya pawai tersebut diakhiri dengan kerusuhan antara polisi dan buruh yang mengakibatkan ratusan korban jiwa dan beberapa buruh dihukum mati.
Sebagai upaya mengenang peristiwa tersebut pada tahun 1889 ditetapkan sebagai bahwa 1 Mei sebagai hari buruh Internasional (Mayday) oleh Kongres Sosialis Dunia yang dilaksanakan di Paris.
Penetapan hari buruh tersebut menjadi angin segar bagi kaum buruh dalam memperjuangkan hak-hak nya yang sejak lahirnya masyarakat industri para buruh menjadi kelas yang tertindas. Kapitalisme yang berupaya mencapai keuntungan sebesar-besarnya dengan modal seminimal menjadikan buruh bukan sebagai manusia melainkan tidak lebih dari komoditas ekonomi. Dalam kamus Marxisme, buruh mengalami Alienasi (suatu kondisi keterasingan dari dirinya sendiri)
Hingga kini, sebenarnya suara buruh tidak berhenti bergema. Nyaris setiap peringatan Hari Buruh terjadi demonstrasi dan advokasi oleh kalangan civil society untuk memperjuangkan hak-hak buruh. Namun pada waktu yang sama juga tidak jarang orang-orang komentar negatif terhadap aksi para Buruh. “Buruh ini demo terus, kurang kerjaan apa? Mending kerja aja, tingkatkan kualitas diri. Supaya gajinya naik. Jangan protes mulu”. Lebih parah mereka tidak paham betul siapa sebenarnya yang disebut buruh dan bagaimana perjuangan buruh berpengaruh untuk keadilan banyak orang.
Masyarakat kita umumnya mengasosiasikan buruh hanyalah mereka yang bekerja kasar tanpa keahlian profesional. Seperti kuli bangunan, pekerja pabrik, pekerja tambang, pembantu rumah tangga dll. Definisi buruh bukan hanya berbeda namun pekerjaan rendahan jika dibandingkan dengan karyawan, freelance, pegawai, staff bank dan pekerjaan kerah putih lainya.
Jika buruh adalah seseorang yang bekerja untuk orang lain atau apapun diluar dirinya demi mendapatkan upah. Maka seorang ASN, pegawai bank, reporter media, karyawan kantoran dan pekerjaan kerah putih lainnya adalah buruh karena prinsipnya ia dipekerjakan.
Mengacu pada undang-undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menerangkan bahwa “buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Berdasarkan undang-undang tersebut siapapun dan dimana pun tempat bekerja. Tidak peduli apakah kita kasir starbuck, teller bank, pegawai negeri dan karyawan supermarket. Entah berada di kantor ber- AC, gedung bertingkat 10, di rumah atau di sawah selama kita bekerja untuk upah dari orang lain maka kita adalah buruh.
Secara substansial buruh adalah orang yang tidak memiliki alat produksi. Berbeda dengan pemiliki modal yang memiliki alat produksi yang kita sering menyebutkan kapitalis. Alat produksi adalah komoditi yang memiliki nilai ekonomis di pasaran. Ayam yang berada di hutan bukanlah komoditas tetapi ayam yang berada di peternakan dan diproses menjadi Kentucky adalah komoditas. Air yang bertempat di sumber mata air bukanlah komoditas. Namun air yang telah disuling di pabrik lalu dimasukan di botol plastik bernilai jual. Dengan kepemilikan modal atau alat produksi tersebut maka pengusaha bebas mempekerjakan orang untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya.
Reduksi pemahaman buruh di Indonesia berakar dari sejarah Orde Baru yang alergi dengan gerakan kiri dan seluk-beluknya. Istilah buruh pada dasarnya sering dipakai dalam perjuangan melawan ketidakadilan kelas dalam masyarakat industri. Oleh karena itu dalam upaya untuk meredam girah dan solidaritas perlawanan kaum buruh, Orde Baru menggantikan dengan kata pekerja dan disusul dengan mengubah nama organisasi Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Mispersepsi tentang buruh sampai sekarang masih terus berlanjut. Akibatnya banyak orang yang tidak punya kesadaran bahwa dirinya adalah buruh dan bahwa dia punya hak-hak yang harus dilindungi. Ketidaktahuan ini menjadi hambatan dalam membangun solidaritas antara kaum buruh. Kaum buruh tidak mengerti apa yang menjadi masalahnya dan bagaimana harus menyelesaikanya sehingga perjuangan melawan ketidakadilan kelas menjadi sulit diwujudkan.