BEM STKIP PGRI Pacitan Kajian Isu : Sistem Proporsional Tertutup, Mulai dari Celotehan Hingga Yayasan Penyalur ART
Suatu negara dengan cakupan wilayah yang begitu luas dan jumlah penduduk yang besar dengan sebaran yang berbeda-beda berdampak pada sistem politik negara tersebut. Apalagi dengan bentuk pemerintahan seragam yang dianut sebelumnya. Menciptakan pemerintahan yang kuat dan mewakili seluruh rakyat tentu tidak mudah. Selain itu, keinginan rakyat dalam bentuk keterwakilan di parlemen harus diakomodasi.
Ketua KPU melontarkan gagasan penggunaan sistem proporsional tertutup pada Pemilihan Umum legislatif 2024 mendatang. Mengingat jabatan sentral yang dimilikinya, tentu terjadilah panen respon pro dan kontra atas lontaran tersebut.
“sistem pemilu berkaitan langsung dengan penentuan nasib rakyat dalam memilih wakilnya di parlemen, sehingga rakyat harus mengetahui latar belakang dan pengalaman calon yang akan dipilih.” ujar Irma Sintia, Menteri Luar Negeri Kabinet Nawasena
“Dengan sistem pemilu proporsional tertutup artinya masyarakat hanya bisa memilih partai politik karena calegnya dipilih oleh partai, sehingga masyarakat seolah-olah seperti membeli kucing di dalam karung karena tidak tahu pasti caleg yang diinginkan.” Lanjutnya.
Bak gayung bersambut, dari sembilan partai yang ada di parlemen, terdapat satu fraksi yang terlihat mendukung wacana ini. Kompas.tv pada Selasa (9/1) mengemukakan sejumlah alasan mengapa fraksi tersebut mendukung wacana ini, salah satu yang menarik untuk dibahas adalah hemat anggaraan.
Potong budget disinyalir menjadi alasan mengapa kita harus mendukung pengembalian sistem proporsional tertutup tersebut, baik untuk efisiensi biaya kampanye caleg, maupun efisiensi biaya penyelenggaraan.
Lutfi Abdul Majid mengatakan “Ketua KPU terkesan hanya memberikan celetukan tanpa dasar yang kuat mengenai pemilu proporsional tertutup, karena tidak disertai alasan mendasar mengapa ide atau gagasannya itu diterapkan. Ditetapkannya pemilu proporsional tertutup merugikan partai-partai kecil dan hanya memberikan keuntungan bagi partai-partai besar, serta menyebabkan dominasi calon elit dan kurangnya peran masyarakat dalam proses pemilihan. Hal ini juga akan berdampak pada pembangunan berskala nasional di berbagai daerah yang akan berkurang karena kampanye-kampanye yang dilakukan hanya akan tersentralisasi pada partai saja.”
Jika dikaji dari sisi teknisnya, yang mana dalam pemilu porporsional tertutup membuat rakyat hanya dapat memilih partai, dan partailah yang memilih anggota legislatifnya. Ketika partai politik memiliki kewenangan mengatur pihak yang dapat masuk ke parlemen, maka perlu kita waspadai adanya indikasi penyimpangan dalam bentuk transaksi atau menjual kursi dengan nominal tertentu.
Salah satu risiko yang patut kita waspadai, yaitu sponsor-sponsor politik yang ada di belakang layar caleg. Perlu kita yakini bersama hal itu akan mempengaruhi jalannya pemerintahan. Misalnya korup dan pesanan-pesanan regulasi bagi kelompok tertentu.
“Tanpa adanya tendensi untuk merendahkan profesi Asisten Rumah Tangga (ART), jangan sampai ide sistem proporsional tertutup ini justru menjadikan partai poliitik menjadi seperti sebuah yayasan penyalur ART, yang mana caleg diharuskan membayarkan sejumlah uang tertentu kepada partai agar dapat disalurkan atau ditempatkan untuk kerja. Jangan sampai partai politik hanya sebatas tempat bertransaksi untuk mendapatkan kursi parlemen.” ucap mahasiswa yang akrab disapa Khoirul Ilham di Sekretariat BEM STKIP PGRI Pacitan, Rabu (18/1/2023).
Perlulah diingat bahwa PEMILU 2024 sebentar lagi akan dilaksanakan. Apakah waktu yang tersisa ini akan dirasa cukup untuk merubah regulasi ? independansi dan ketegasan KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu tentunya patut kita lihat. Apalagi pemilu merupakan ajang bagi rakyat untuk memilih dan tentunya tidak bisa sembarang untuk dirubah atau diganggu gugat.